Keraton Yogyakarta |
Jogja tidak hanya milik masyarakat Jogja tetapi milik siapa saja yang pernah berkunjung bahkan tinggal disana.
Rindu dengan keramahan tegur sapa, kepedulian, dan senyum masyarakat Jogja. Rindu dengan lingkungan Mahasiswa Amikom, UII, UPN, dan Stikes Guna Bangsa daerah Concat. Rindu dengan suasana santri dan asrinya daerah Krapyak Panggungharjo, setiap sore pulang kerja suasana jalan sepanjang menuju kos. Anak remaja laki-laki bersarung dan berpeci berpeci serta remaja perempuan dengan pakaian berjilbabnya pada berhamburan nyari jajanan untuk membunuh rasa lapar diwaktu malam.
Rindu dengan kulinernya yang jawa banget kalau bukan gudeg iya apalagi hehe , dimana-mana gampang nyari makanan. Sebagai pecinta masakan nusantara pernah yang namanya bebarengan nyobain makanan khas Ambon, Kalimantan, Masakan padang mulai yang jualan orang Padang Asli bahkan yang jualan orang Jawa tulen juga pernah ngerasain . Kuliner ala Kerajaan Keraton dan ala Resto karena tuntutan pekerjaan, tanggal tua tinggal lari ke warung Aa' Burjo atau ke angkringan nasi bungkus 500an, tahu tempe sate bakar dan susu jahe. Makanan ala kaepsi malah baru sekali itupun ditraktir sama si @nuzlaidaidham sepulang dari RS Sarjito gegara tomcat wkwkw. Dan satu lagi tongkrongan susu murah meriah di BS (Bengkel Susu) Lempuyangan dengan suasana stasiun sambil ngeliatin kereta lewat gitu sama Julia Gizi di deket Atlanta Jln. HOS Cokroaminoto.
Setiap sudut kotanya romantis, romantis untuk duduk sambi bercengkerama dengan kawan atau pasangan, ngobrol ngalor ngidul tentang pekerjaan, tentang perasaan, bahkan tentang hal absurd yang lain. Pernah tumbuh besar dan beranjak dewasa bahkan belajar di Kota ini menjadikan rasa syukur tersendiri.
Bencana merapi 2010 juga menjadikan pengalaman hidup. Bahwa kehidupan dan alam ini tidak ada yang abadi. Saat diuji dengan bencana, Illahi Robbi ingin tau seberapa besar umatNya saling peduli dan menolong. Seberapa pengorbanan harta, waktu dan tenaga yang disumbangkan untuk sesama yang membutuhkan. Egoisme dan pahlawan bertopeng (pencitraan) hanya menjadi bulan-bulanan media. Karena yang dibutuhkan adalah ketulusan memberi, bertindak, dan mendoakan tanpa ditunggangi embel2 apapun. Duh foto suasana kala merapi meletus nggak punya arsip pribadi, kayaknya udah hilang bersamaan dengan hilangnya hape jaman Cross Qwerty yang ada antenanya bisa buat nonton tv.
Guide Keraton Yogyakarta Bpk. Ngadiyono |
Ditempat ini ngobrol ngalor ngidul dengan seorang Guide bernama Bapak Ngadiyono yang konon punya istri orang bule. Ngobrolin perihal jaman kerajaan Jogja dan Solo,tentang abdi dalem, sampai belajar dari beliau cara membaca karakter orang. Secara beliau adalah pelayan publik, jadi berbagai macam karakter sudah paham. Tipikal seperti saya seneng banget kalau ngobrol perihal kerajaan, penasaran aja dengan kehidupan jaman kerajaan masa lalu dibanding jaman sekarang yang sudah pesat teknologi. Mendapatkan pelajaran lagi bahwa kenapa orang lain bisa merasa nyaman berbicara dengan kita? Karena bicara itu dari hati bukan dari kepala. Jika bicara dari hati maka akan menimbulkan ketulusan yang berujung kenyamanan. Pun sebaliknya jika dari kepala bisa saja yang muncul hanya akal-akalan yang berujung kepada kemunafikan, keegoisan dan emosi.
Hahaha embuh banget kita berdua ini udah berapa tahun aja tinggal di Jogja, sowan lan uluk salam ke Keraton baru kali ini. Awalnya sih pengen cari tahu gejrot saja, ngobatin rasa kangen jajan Tahu Gejrot di Alun-Alun Selatan Jogja. Tapi kupikir waitt... maen ke Kraton dulu yuk Centilnya Kakak . Dan thanks disetiap perjalanan memang ada pelajaran dan pembelajaran tersendiri. Jadi jangan lupa silaturahmi teman, piknik, dan ambil pelajarannya disetiap jejak langkah Gaes!!
Thanks Jogja
Komentar
Posting Komentar