Tergelitik pengen diskusi tentang topik musik/alat musik ini berawal dari postingan Instagram seorang muslimah berjilbab pecinta sholawat dengan nama akun @dewiwdari . Saya pribadi pun menyukai sholawat. Jaman kuliah suka diajak sama kawan-kawan untuk menghadiri Majelis Sholawat dan pengajian Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf.
Selama ini kita mengenal alat musik yang berciri khas Islam adalah Rebana, namun bagaimana jika sebuah sholawat ataupun sebuah lagu bernafaskan islami diiringi menggunakan alat musik selain Rebana ? Berikut obrolan panjang saya dengan salah seorang kawan yang menimba ilmu agama di PP Krapyak Al-Munawwir Yogyakarta, Cekidot !
Sebut saja kawan saya ini M, dan saya A
Saya yang masih bodoh ini pun memulai pertanyaan yang dilanjutkan dengan diskusi lumayan panjang :D
A : "Dek, kui Mbake sholawate apik ya? Sakjane pripun hukume alat musik dek? soale kok ono beberapa teman sing tak kirimi apapun alasannya mengatakan haram :D :D :D Padahal seperti Kyai Haji Ahmad Dahlan dan beberapa tokoh pemusik religi tanah air berdakwah juga menggunakan alat musik. Sebenarnya yang diharamkan dari alat musik tersebut esensinya apa dek ? "
M : Saya kayaknya bisa cukup menjawab dengan : " Yah, ada yang membolehkan, dan ada yang tidak. Tinggal mau pilih mana Mbak, yang menurut njenengan sreg saja."
Tapi pasti nanti njenengan kurang puas to, wong jawabannya tidak kuat landasannya. Meskipun nanti setelah saya jelaskan panjang lebar, njenengan pada akhirnya juga akan berkomentar :
"Oh iya ya Dek. Ternyata ada perbedaan pendapat. Berarti tinggal pilih yang mana saja to ya, yang menurut kita mantep."
Hahaha.
Ya pie ya Mbak, soalnya musik itu masuk dalam kategori muamalah. Berbeda dengan ibadah yang kedudukannya tidak bisa ditawar lagi kayak shalat, puasa Ramadhan, Zakat, dll. Jadi wajar, kalau didalamnya pasti ada perbedaan pendapat yang bikin umat pada bingung.
Terlebih ketika yang dimainkan adalah alat musik yang didalam kita disebutkan haram, tetapi dipakai untuk nyanyi lagu-lagu yang islami kayak shalawat yang njenengan share itu. Untuk hal ini, kalau menurut Imam Az Zarkasyi dan Imam Romli :
"Hukum musiknya tetap haram, namun dakwahnya tetap sunah/berpahala".
sampai disini pengen ngguyu kan, dan berkomentar :
"Mosok musike haram, njur nyayine (shalawatan) sunah dan berpahala. Kan itu satu kesatuan, musik dan lagu berpadu menjadi satu. Tidak sendiri-sendiri. Nek ngene iki carane koyo buka puasa mangan iwak babi dihukumi haram."
"Ya karena muamalah tadi Mbak, makanya tidak bisa saklek. Yang saklek haram itu biasanya para Ulama Fiqih, karena beliau lebih menitikberatkan pada aspek legal-formal dengan berpegang kuat pada teks-teks agama Al-Qur'an dan Hadist, Sedangkan beliau para Ulama Tasawuf, lebih menitikberatkan pada substansinya, dengan berpijak pada realitas kongrit."
"Sing penting lak awak dewe tidak lalai kepada Allah to. Justru kalau isi lagunya bagus, malah bisa jadi pepeling (nasihat) buat orang-orang agar lebih dekat lagi kepada Allah," begitu orang-orang tasawuf biasa berargumen.
Karena memang lirik lagu dalam islam sebenarnya diperbolehkan, seperti tersurta dalam hadits Abdullah bin Umar :
"Syair lagu laksana sebuah kalam. Syair yang baik, sama dengan kalam yang baik. Syair yang jelek, sama dengan kalam yang jelek."
Ketegangan kan memang banyak terjadi diantara orang-orang Fiqih dan orang-orang Tasawuf, Mbak. Yang satu manut teks, yang satu bilang sing penting substansine. Makanya, dua kalangan itu le debat ra uwes-uwes nek dituruti. Oleh karena itu, Imam Ghazali mengeluarkan kita Ihya Ulumuddin yang merupakan penggabungan antara Tasawuf dan Fiqih. Kalau menurut Ihya' Ulumuddin juz II halaman 297 begini :
"Alat musik itu (gitar, seruling, dsb) diharamkan, karena didalamnya bisa menghalangi dzikir pada Allah, lalai pada sholat, dan bisa memisah taqwa, dan cenderung pada hawa nafsu dan terlena atas kemaksiatan."
Karena memang kata Al-Ghazali, pada masa awal-awal Islam, kedua alat musik tersebut lebih sering dimainkan ditempat-tempat maksiat, yakni sebagai musik pengiring pesta minuman keras. Tetapi pada halaman lain, Imam Ghazali juga menambahkan :
"Larangan tersebut tidak ditunjukkan pada alat musiknya (seruling atau gitar) melainkan disebabkan karena sesuatu yang lain" (amrun kharij)."
Kalau orang Tasawuf membaca ini pasti mereka akan berkomentar :
"Hla lak tenan to sing marai maksiat ki hudu alat musike. Tapi sesuatu yang lain. Dadi nek kita memainkan alat musik , lalu bernyayi (shalawatan misalnya) namun tidak melakukannya di tempat-tempat maksiat, dan juga tidak sebagai pengiring pesta minuman keras, lak rapopo to. Wong sing penting ki esensine. Malah justru iki ( shalawatan dan lagu-lagu islami lainnya) iso mendekatkan diri kepada Allah."
Lha kan mbak, perbedaan pendapat yang muncul ora uwes-uwes.
Sejumlah Ulama seperti Qadi Abu Tayyib Al-Thabari, Syafi'i, Malik, Abu Hanifah, Sufyan, dan lainnya menyatakan haram. seperti kata Imam Syafi'i :
"Menyanyi hukumnya makruh dan menyerupai kebatilan. Barang siapa sering bernyanyi maka tergolong safeh (orang bodoh). Karena itu syahadahnya (kesaksiannya) ditolak."
Bahkan, kata Imam Syafi'i memukul-mukul (al-taqtaqah) dengan tongkat itu hukumnya makruh. Permainan seperti itu biasa dilakukan orang-orang zindiq, hingga mereka lupa membaca Al- Qur'an. Imam Syafi'i mengutip sebuah hadits yang mengatakan bahwa permainan dadu adalah salah satu jenis permainan yang paling dimakruhkan dibandingkan permainan-permainan yang lain.
"Dan saya", tegas Imam Syafi'i, "sangat membenci permainan catur. Bahkan semua jenis permainan. Sebab permainan bukanlah aktivitas ahli agama dan orang-orang yang memiliki harga diri (muru'ah).
Begitu juga dengan Imam Malik. Guru Imam Syafi'i ini melarang keras musik, menurutnya :
"Jika seseorang membeli budak perempuan, dan ternyata budak tersebut seorang penyanyi, maka pembeli berhak mengembalikan budak tersebut, karena termasuk cacat. Pendapat Imam Malik ini kemudian diikuti oleh mayoritas ulama Madinah, Kecuali Ibnu Sa'id.
Hal senada diungkapkan Abu Hanifah yang mengatakan bahwa musik itu hukumnya makruh, dan mendengarkannya termasuk perbuatan dosa. Pendapat Abu Hanifah ini didukung oleh sebagian Ulama Kufah, seperti Sofyan Al-Tsauri, Himad, Ibrahim, Syu'bi dan ulama lainnya. Pendapat-pendapat diatas dinukil dari Al-Qadi Abu Tayyib Al-Tabari.
"Tapi perlu njenengan ketahui Mbak, bahwa Imam Syafi'i, Imam Malik, Imam Hanifah, dll itu kan Ulama dalam bidang ilmu Fiqih.Jadi sesuai bahasan diatas tadi : mereka lebih menitikberatkan pada aspek legal formal dengan berpegang kuat pada teks-teks agama (Al-Qur'an dan Al-Hadits). Sementara orang-orang Tasawuf lebih menitikberatkan pada esensi musik itu sendiri, dan realitas yang terjadi di masyarakat."
"Salah satu kongkretnya ya Wali Songo itu Mbak, yang berdakwah melalui berbagai cara. Seng penting umat digawe seneng sik, gelem ngumpul sik, njur nek wes seneng lagi diajak ngibadah. Karena memang tidak semua orang mau, untuk langsung belajar agama. Tapi kalau ditarik menggunakan apa-apa yang masyarakat sukai, biasanya mereka mau gabung."
Itu kenapa, Maulana Malik Ibrahim dulu membuka warung untuk berjualan kebutuhan sehari-hari dengan harga murah, mengadakan pengobatan gratis, karena biar orang-orang mau ngumpul dulu dan akhirnya mau diajak ngibadah. Lalu Sunan Bonang menciptakan gamelan Bonang/gending serta berdakwah menggunakan wayang, bahkan Sunan Drajad bikin lagu (suluk) yang liriknya begini :
"Berilah tongkat pada si Buta, berilah makan pada yang lapar, berilah pakaian pada yang telanjang."
Lalu Sunan Kalijaga mengarang cerita-cerita pewayangan, mengembangkan seni suara, ukir, busana, pahat, dan kesusastraan. Dan banyak lagi yang dilakukan oleh Wali-Wali lainnya, yang mereka berdakwah menggunakan pendekatan kultural (kebiasaan kesukaan) masyarakat. Jelas tujuannya tidak lain dan tidak bukan, adalah untuk meraih umat yang lebih banyak, baru kemudian diajak ngibadah itu tadi.
Bida dibilang, beliau (Wali Songo) sepakat dengan musik (dan seni lainnya) yang saya sih yakin beliau Tasawuf banget, hehehe. Ulama lain yang memperbolehkan mendengarkan musk adalah Abu Thalib Al-Makki. Menurut Abu Thalib, para sahabat Nabi SAW, seperti Abdullah bin Ja'far, Abdullah bin Zubair, Mughirah bin Syu'bah, Muawiyah dan sahabat Nabi lainnya suka mendengarkan musik. Menurutnya, mendengarkan musik atau nyanyian hampir sudah mentradisi dikalangan ulama Salaf ataupun para Tabi'in.
Bahkan, kata Abu Thalib, ketika berada di Makkah pada saat peringatan hari-hari besar, orang-orang Hijaz merayakannya dengan pagelaran musik.
Tradisi seperti itu juga dilakukan oleh orang-orang madinah. Seperti yang diakui sendiri oleh Abu Thalib, bahwa dia pernah melihat Qadi Marwan memerintahkan budak perempuannya untuk bernyanyi dihadapan orang-orang sufi. Al-'ata juga memiliki dua budak wanita yang keduanya pandai bernyanyi dan sering dipentaskan didepan saudara-saudaranya.
Suatu ketika Abi Hasan bin Salim ditanya Abi Thalib :
"Mengapa engkau melarang mendengarkan musik, sementara Al-Junaedi, Sirri Al Saqati dan Dzunnun Al-Misri senang mendengarkan musik ?"
Lalu Hasan bin Salim menjawab :
"Saya tidak pernah melarang orang mendengarkan musik, sebagaimana halnya orang-orang yang lebih baik dariku. Aku hanya melarang bermain dan bersendau gurau dalam mendengarkan musik."
Sampai disini gimana Mbak? Bacanya udah capek belum ? atau mau dilanjut lagi? Hahahaha. Monggo kalau mau lanjut diskusi.
Tapi kalau sudah puas dan mau langsung menjawab:
"Oh Iya ya Dek. Ternyata ada perbedaan pendapat. Berarti tinggal pilih yang mana saja to ya, yang menurut kita mantep. Juga enggak apa-apa. yang penting njenengan njawab gitu dengan landasan yang jelas : mengapa ingin memilih untuk menyetujui, dan mengapa tidak. Hehehe
Eh, btw ini saya jawabannya memakai landasan hasil diskusi para ulama tentang hal ini nggeh Mbak. Jadi kalau nanti ada jawaban yang kelihatannya keren , itu jelas murni jawaban para beliau yang keilmuannya mendalam dan diakui. Tapi kalau nanti ada salah, bisa jadi itu karena kebodohan saya yang tidak pandai dalam menukil.
Segini dulu sementara. kalau mau dilanjut, InsyaAllah akan saya upayakan untuk menghimpun dari sumber lagi terkait pembahasan ini. Hehe
Memang betul Dek yang marake saru adalah debat yang nggak berkesudahan. Owh jadi perbedaan yang selama ini membuncah dipikiran saya ternyata istilahnya ahli fiqih sama tassawuf.
Tapi menurut saya, di dunia ini juga harus ada orang-orang yang menjaga kemurnian fiqih sih. Banyak kok para ahli fiqih, terutama dipondok salaf, yang masih menjaga itu. Dan saya seneng mereka ada. Fiqih adalah ilmu yang berkaitan dengan kehidupan manusia sehari-hari. Kalau tidak ada orang-orang fiqih, maka tidak ada yang mengkaji, lalu bagaimana dong dengan dunia yang terus berkembang ini? Bagaimana menghukumi hal-hal baru yang hadirnya setelah Nabi SAW?
Ya di tangan para ahli fiqih inilah kita bisa berharap. Di Pondok-pondok macam Tegalrejo, Lirboyo, Ploso, dsb masih banyak orang-orang yang menjaga ilmu ini, kemurnian ini. Sehingga kita patut bersyukur, ada mereka (Pondok-pondok itu) yang terus menelurkan generasi dalam berbagai bidangdi Islam. Salah satunya Ilmu Fiqih.
Tapi adanya orang-orang Tasawwuf juga menyenangkan, bahwa fokus itu harus pada isi , bukan pada kulit. Cuma orang-orang Tasawuf, yang bisa bikin orang bisa menikmati ibadah kayak orang lagi mabuk kepayang. Dan banyak lagi lainnya.
Pada akhirnya kita sendiri kan yang dipersilakan untuk memilih : mana hukum yang dirasa tepat dan sreg, yang penting kita tahu, landasan mengapa kita memilih,Hehehe. Maaf ya Mbak Semoga tidak menggurui.
Leres dek, patokan kemurnian memang harus ada, indahnya dilengkapi oleh orang-orang yang punya cara untuk menikmati ibadah tadi.
Dan begitulah obrolan saya dengan seorang kawan. Semoga menambah wawasan kita semua mengenai perbedaan :)
Komentar
Posting Komentar