ekspedisi free ongkir |
Gimana kabarnya online seller ? Semoga laris, lancar dan berkah selalu ya jualannya. Aku merasa terusik pengen ngocehin tentang fenomena bisnis via online yang lumayan lama aku geluti sejak tahun 2009-an. Sebelum muncul marketplace yang bernama Tokopedia, Shopee, Lazada, Bli Bli, Bukalapak, hingga 2023-an ini ada sebuah marketplace yang lumayan menggeser posisi para pendahulunya, yaitu Tiktokshop.
Oya sebelum bahas ke topik inti, aku pengen cerita dulu aku pernah juga posting jualan diplatform FJB KASKUS. Dulu dimulai tahun 2009 senjataku cuma dua, yaitu FJB kaskus dan posting di album FB dan Fanspage. Punya barang yang sekiranya banyak dipakai oleh kalangan anak muda terutama mahasiswa, difoto sendiri pakai compact kamera Sony Cybershootku, edit pencahayaan lalu posting. Pada caption dikasih deskripsi spesifikasi barang, harga dan kontak person. Siapapun yang melihat postingan dan berminat tinggal sms atau meninggalkan pesan dikolom komen, bisa juga melakukan order melalui messanger. Kemudian untuk direct sellingnya, aku ikut kegiatan kampus yaitu Entrepreneur Day.
Bener-bener jaman dimana orang yang ngerti jual beli online saja yang berani melakukannya. Karena untuk urusan pembayaran memang harus saling percaya. Jaman dimana orang masih khawatir dan takut ketipu kalau buyer melakukan pembayaran transfer palsu, atau buyer sudah transfer beneran namun seller yang tidak melakukan pengiriman sesuai pesanan.
Masa itu menjadi masa yang lumayan empuk untuk para seller sekelas reseller dan dropshipper mencari cuan via online. Para supplier yang notabene mereka rata-rata pemain direct selling didunia nyata belum ikut-ikutan berjualan secara online baik melalui marketplace, landing page maupun secara live. Para reseller dan dropshipper pun masih mendapatkan profit yang lumayan menentukan harga untuk end buyer.
Dunia bisnis online menunjukkan perubahan yang begitu signifikan, terutama memasuki masa pandemi covid-19 hingga perjalanannya setelahnya. Masa itu didukung rata-rata masyarakat menengah keatas hampir dipastikan memiliki smartphone android sebagai kebutuhan komunikasi dan informasi sehari-harinya. Masyarakat dengan taraf ekonomi bawah pun secara langsung dituntut untuk memiliki smartphone, terutama sektor dunia pendidikan. Banyak masyarakat yang berusaha mempertahankan dapur ngebul rumah tangga masing-masing dengan memaksimalkan smartphone yang dimiliki.
Covid-19 menjadi tonggak sejarah banyak aktivitas atau interaksi yang bergeser dari aktivitas tatap muka ke dunia daring atau online. Diperkuat dengan banyak platform yang digunakan oleh masyarakat umum untuk mendukung kegiatan belajar mengajar, hingga aktivitas berbelanja. Berkorelasi juga dengan jumlah pemain online shop yang meningkat serta persaingan model bisnis serta kemudahan yang ditawarkan antar marketplace pun bersaing secara ketat.
Banyak bermunculan brand ekspedisi baru yang ikut bermain menangkap peluang. Sehingga persaingan antar ekspedisi pun juga turut meningkat. Dari yang awalnya weekend adalah hari libur operasional, sekarang persaingannya menjadi operasional perusahaan jalan 7x24 jam. Dari yang awalnya paket diantar ke counter, sekarang persaingan rata-rata ekspedisi melayani pickup barang dirumah konsumen. Dari yang awalnya ekspedisi brand besar memiliki tarif yang dirasa per kg nya sudah paling ekonomis, sekarang muncul pemain baru dengan tarif yang lebih ekonomis lagi dan lama sampai destinasinya sama. Hingga masuk era dimana persaingan antar ekspedisi yang memberikan free ongkir jika dilakukan pembelanjaan di marketplace tertentu. Tentunya dengan persyaratan wilayah dan minimal belanja tertentu ya.
Dulu pertimbangan orang berbelanja online adalah faktor sibuk, menghemat waktu, tidak ada barang di offline store, serta karena memanfaatkan promo. Sekarang orang berbelanja online adalah karena banyak supplier sudah terjun langsung berjualan dengan harga ecernya bersaing ketat dengan para resellernya. Ditambah lagi dengan benefit free ongkir sampai alamat dengan minimal nominal belanja yang saya rasa tidak besar. Hal itu bisa jadi mereka lakukan karena kelanjutan aktivitas masa pandemi yang mau nggak mau stok harus cepat berputar dan jika dikalkulasi kurang mengejar pemasukan, jika hanya mengandalkan para reseller.
Sebelum kemunculan tiktok persaingan seller di platform marketplace pendahulunya, saya rasa masih seimbang. Dengan benefit yang ditawarkan berupa kupon gratis ongkos kirim murni dari marketplace tersebut yang dikerjasamakan dengan ekspedisi. Kemudian kupon-kupon potongan harga untuk pembelanjaan item brand tertentu maupun melakukan top up. Hingga pada akhirnya muncullah aplikasi sosial media tiktok dengan marketplace tiktokshopnya benar-benar mengalihkan dunia para online seller dan buyer. Sepaket fungsi dalam satu platform inilah yang membuat tiktok memainkan algoritmanya, sehingga peselancar dunia sosial media ditawarkan secara hardselling maupun softselling untuk mengisi peran pada marketplacenya. Baik sebagai content creator, affiliator, seller (para produsen langsung/reseller), tentunya bersambut juga para buyer berbondong-bondong ke marketplace ini.
Dengan teknik menjual secara live dan menampilkan etalase marketplace yang sudah dibangun, baik para pemilik barang tangan pertama, reseller bahkan affiliator berkesempatan cuap-cuap mereka mendapatkan pengunjung hanya dari scroll-scroll pengguna yang sedang berselancar didunia pertiktokan. Berkumpulnya para pemilik barang tangan pertama atau pemain besar ini memunculkan persaingan harga, jika item yang dijual serupa. Efek yang dirasakan para reseller maupun dropshipper ya sangat terasa sekali. Banyak pelanggan yang sudah mulai beralih pembelanjaannya ke marketplace yang dimana banyak para supplier didalamnya yang berjualan secara ecer dengan harga yang tidak jauh dari para resellernya. Alih-alih para reseller ini semakin hari semakin mendapatkan pangsa pasar yang lebih luas, tetapi pelanggan yang masih bertahan dan pelanggan barunya adalah orang-orang yang nggak mau ribet melakukan pembelanjaan melakukan marketplace pendahulu. Jika ada orderan melalui marketplace pendahulu adalah tipe pengguna setia marketplace tersebut.
Marketplace tiktokshop ini semakin bersaing secara unggul dibandingkan dengan para pendahulunya. Disaat tiktok menjadi sosial media primadona dan pembelanjaan melalui tiktokshop tidak dikenakan biaya tambahan seperti biaya penanganan maupun biaya aplikasi, justru marketplace pendahulu malah menerapkannya. Dari sisi sebagai seller semakin berat saja berjualan di marketplace pendahulu karena dikenakan biaya layanan berdasarkan persentase yang berbeda-beda per kategorinya.
Ada cara lain jika kita nggak mau ikut kena imbas persaingan harga antar seller ini, yaitu memaksimalkan digital marketing dengan bermain ads dan landing page. Karena pandangan buyer hanya terfokus pada iklan yang sedang kita tawarkan, tidak melihat produk serupa milik kompetitor dalam satu halaman. Namun, tentu saja harus dipelajari dulu tools apa saja yang digunakan, copywritting yang memikat serta formula cara beriklan supaya tidak boncos alias hanya buang biaya iklan tetapi tidak mendapatkan konversi yang sesuai.
Nah, pengalaman kalian sebagai pelaku online seller maupun buyer gimana gaes ? Yuk boleh kita diskusi di kolom komen ^^
Komentar
Posting Komentar